
Pernahkah Anda bertanya-tanya, di tengah gempuran aplikasi belajar canggih dan video tutorial gratis di YouTube, apakah anak-anak Gen Z masih membutuhkan bimbingan belajar les SMP tatap muka yang konvensional? Apakah duduk di kelas tambahan sepulang sekolah hanya menambah beban mental mereka, atau justru menjadi kunci untuk membuka potensi yang sebenarnya?
Ketika Layar Gadget Tidak Bisa Menjawab Segalanya
Saya teringat momen beberapa tahun lalu saat keponakan saya, Ardi, sedang berjuang keras dengan pelajaran Fisika. Dia anak yang cerdas dan sangat tech-savvy. Ponselnya penuh dengan aplikasi rumus dan dia berlangganan dua platform belajar online sekaligus. Tapi sore itu, saya menemukannya menatap buku paket dengan tatapan kosong. “Om,” katanya pelan, “aku tahu rumusnya, tapi aku nggak ngerti kenapa rumusnya harus dipakai di soal ini.”
Momen itu menyadarkan saya pada satu hal penting: akses informasi tidak sama dengan pemahaman.
Di sinilah peran les SMP menjadi krusial. Gen Z memang juara dalam mencari informasi, tetapi mereka sering kali kebingungan dalam memilah dan menerapkannya. Dalam bimbingan belajar, baik itu privat maupun kelompok kecil, ada interaksi manusia yang tidak bisa digantikan oleh algoritma. Mentor atau guru les tidak hanya menyuapi materi, tapi juga membaca ekspresi bingung siswa yang mungkin tidak terucap. Mereka bisa langsung mengubah analogi penjelasan saat melihat dahi siswa berkerut—sesuatu yang belum bisa dilakukan oleh video tutorial paling canggih sekalipun.
Bukan Sekadar Nilai, Tapi Mentalitas Belajar
Menciptakan Ruang Fokus di Tengah Distraksi
Kita harus akui, tantangan terbesar anak SMP jaman sekarang adalah fokus. Notifikasi media sosial berbunyi setiap menit, ajakan mabar (main bareng) game online, hingga scroll TikTok tanpa henti. Rumah sering kali menjadi tempat yang terlalu nyaman dan penuh godaan untuk benar-benar belajar serius.
Mengikuti program les SMP memberikan struktur yang mereka butuhkan. Saat masuk ke ruang les, ada semacam “saklar mental” yang berpindah. Mereka tahu bahwa satu atau dua jam kedepan didedikasikan khusus untuk menyerap ilmu. Saya pernah ngobrol dengan seorang wali murid yang awalnya skeptis. Dia bilang, “Anak saya kalau di rumah belajarnya sambil tiduran dan chatting. Tapi semenjak ikut les, dia jadi punya ritme. Pulang les, dia malah lebih santai karena tugasnya sudah selesai dibahas dengan tutornya.”
Jadi, les bukan tentang menambah jam belajar menjadi menyiksa, melainkan mengefektifkan waktu yang ada. Daripada 3 jam belajar di rumah tapi tidak efektif karena banyak gangguan, lebih baik 90 menit di tempat les dengan fokus penuh.
Teman Seperjuangan Itu Penting
Aspek sosial juga sering luput dari perhatian. Di sekolah, mungkin ada tekanan untuk terlihat “keren” atau takut bertanya karena malu dianggap bodoh oleh teman sekelas. Suasana di tempat les SMP biasanya lebih cair dan suportif.
Sering kali, motivasi belajar justru muncul karena melihat teman di sebelah juga sedang berjuang memecahkan soal Matematika yang sama rumitnya. Ada rasa senasib sepenanggungan. Mereka bisa saling bertanya tanpa rasa takut dihakimi. Lingkungan seperti ini membangun kepercayaan diri anak, yang pada akhirnya berdampak positif pada performa mereka di sekolah utama.
Kesimpulan
Pada akhirnya, keputusan untuk mendaftarkan anak atau diri sendiri ke les SMP bukan sekadar ikut-ikutan tren. Bagi Gen Z, les berfungsi sebagai jembatan. Jembatan yang menghubungkan banjir informasi digital dengan pemahaman mendalam yang terstruktur. Ini bukan tentang memaksa anak menjadi jenius dalam semalam, tapi tentang memberikan mereka pendampingan manusiawi yang membantu menavigasi masa remaja yang penuh tantangan akademis. Kadang, satu sesi diskusi hangat dengan guru les yang pengertian jauh lebih berharga daripada ribuan video penjelasan di internet.
